MEMBAYANGKAN kembali suasana kota Palembang di era awal pasca revolusi fisik, mengarahkan ingatan para sesepuh yang pernah merasakan masa ini. Suatu penggalan waktu yang menorehkan nostalgia lama. Suasana kota yang jelas masih terasa sepi dibandingkan dengan saat ini. Geliat kehidupan sehari-hari belum sepadat sekarang, dengan jumlah penduduk sekitar 400 ribu jiwa, Palembang masih terasa lengang untuk ukuran masa kini.
Di era awal pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia sebagai kelanjutan kebijakan kolonial Belanda di kotapraja atau haminte Palembang, kota ini mulai menunjukkan ciri sebagai kota yang semakin multi etnik. Menurut catatan RHM Akib, secara etnologis suku bangsa Palembang meliputi kurang lebih 50 % dari penduduk kota di atas. Suku bangsa Indonesia lain yang menetap dan mencari hidup di sini dari berbagai pelosok Sumatera seperti Tapanuli, Minangkabau, Jawa dan pedalaman daerah Palembang. Selain itu orang Tionghoa, Arab, India seperti pemilik merk dagang martabak HAR, dan bangsa Barat lain di antaranya Amerika, Eropa, terutama Belanda.
Tidak berlebihan jika pada era ini ciri sebagai kota melting pot atau panci adukan dari berbagai suku bangsa dan keturunan mulai terbangun. Dari bermacam suku bangsa ini mulai tidak lagi membawa simbol kedaerahan justru menjadi satu dengan sebutan wong Palembang atau wong kito. Nama beberapa tokoh pahlawan Sumsel semisal dr AK Gani, Jenderal Bambang Utoyo yang menjadi tokoh masyarakat dapat menguatkan asumsi ini.
Pada masa itu pula konsentrasi pemukiman masih tertumpu pada beberapa titik. Lihat saja kawasan perkantoran Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan di kiri kanan jalan Kapten A Rivai belum ada, kawasan tersebut dalam bentangan peta lama tertulis sebagai daerah pinggiran yang bernama Talang Pangeran Suryo dan Talang Gerunik. Daerah pendidikan di sekitar kampus Universitas Sriwijaya yang baru dirintis di atas tahun 1956 pun masih terekam dalam ingatan pelajar yang menempuh studi di sana sebagai tempat yang belum dilalui angkutan umum. Angkutan umum dari arah depan Mesjid Agung baru sampai si kawasan simpang PHB jalan Cek Bakar. Jadi, untuk sampai di sekolah di arah Bukit masih harus ditempuh dengan jalan kaki.
Apalagi jalan lingkar barat sekarang, baik yang menuju jalan Parameswara dan komplek Polygon Bukit Sejahtera serta jalan Demang Lebar Daun yang mengarah ke Griya Agung, tercatat sebagai talang yang banyak ditanami pohon buah seperti cempedak masih diselingi hutan, rawa dan semak belukar bernama Talang Macan Lindungan. Begitu pula dengan sisi lain kota yang beraroma cuko pempek ini, seperti arah ke bandara lama Talang Betutu masih banyak lahan yang ditanami batang para. Seperti diketahui batas kota saja hingga tahun-tahun awal 1980-an masih sebatas Pasar “Paal limo” KM 5. Akan halnya sebutan Palimo (Paal Limo) karena terhitung dari titik nol pusat kota di kawasan Air Mancur. Bandingkan dengan sebutan Palmerah dan Palmeriam di Jakarta yang menyebut titik kilometer di awal nama kawasan tersebut di Jakarta.
Kapal Mari
Jelas pula, Jembatan Ampera si tengara (landmark) Kota Palembang modern belum terpancang dan melintang di atas alur Sungai Musi. Arus lalu lalang masyarakat dari Seberang Ulu dan ke kawasan Seberang Ilir atau sebaliknya dilayani oleh kapal penyeberangan (veerpont) yang berlabuh di pelabuhan atau boom 16 Ilir dan 7 Ulu. Di antara kapal tersebut bernama lambung Siguntang dan Ario Dillah. Untuk sekali menyeberang ditarik ongkos Rp. 0,25. Bandingkan kalau menumpang perahu tambangan yang dikayuh dengan tangan tarifnya Rp. 0,50. Masyarakat menyebut kapal penyeberangan itu sebagai kapal Mari.
Merasakan lambatnya arus lalu lintas ini membuat jarak yang ditempuh terasa jauh. Jadi jangan heran jika masyarakat di kawasan Plaju ketika hendak menuju pusat kota di Seberang Ilir menyebut rencana perjalanan tersebut sebagai “nak ke Pelembang”. Ucapan tersebut sampai saat ini masih bersisa pada beberapa kalangan. Bahkan penamaan tempat lahir dalam akta kelahiran pun bagi yang dilahirkan di daerah instalasi minyak ini sebagai Plaju bukan Palembang, contoh “tempat/tanggal lahir: Plaju, 1 Januari 1955. Hingga ada seloroh sesama teman sekolah “Plaju itu kota atau bukan?”
Geliat kota yang terasa lebih aktif secara umum baru terjadi di atas tahun 1955 seiring dengan pompa denyut nadi pertumbuhan bisnis. Beberapa pasar mulai dibangun di sekitar Palembang di tahun-tahun ini, cikal bakal pasar Lemabang, pasar Palimo, Pasar Kebon Semai dan pasar lain semakin ramai. Dengan tumbuhnya sentra bisnis ini mendorong pula perluasan kampung hunian yang mengitari pasar-pasar tersebut. Suasana dunia perekonomian yang cenderung identik dengan masyarakat Tionghoa menampakkan wajahnya dengan lebih apa adanya ketimbang era di atas tahun 1966 dan sesudahnya. Kaum Tionghoa menamakan masing-masing usahanya dengan simbol kultur Tionghoanya, baik nama tokonya atau aksara nama toko tersebut.
Lihat saja nama sederet toko dan usaha bisnis berikut: toko Chin Nam Hong, Hok Kim Seng, Ban Sun Lie, atau Optical Nam San, Thong Bieng Kongsie, NV. Soen Kie dan lain-lain. Hal mana berlaku juga pada unit usaha yang masih dimiliki orang Belanda seperti Industriele Handels Vennootschap Engineering J. H. De Bijl, Moluksche Handels Vennotschap, N.V. Borsumij dan nama lain yang jika dituliskan pun justru meletihkan mata untuk membacanya!
Toko De Zon
Di antara unit usaha yang terus menggeliat tersebut ada satu unit usaha toko yang legendaris bagi masyarakat Palembang yang merasakan masa itu, yakni keberadaan toko De Zon di bilangan jalan Tengkuruk di depan Masjid Agung. Toko yang mempraktekkan usaha dagang dengan harga pasti (vaste prijs) supaya pembeli tidak banyak membuang tempo tawar menawar dan orang tidak usah khawatir akan membeli terlalu mahal. Selengkapnya toko ini bernama N.V. Handel Mij “Toko De Zon”. Sebuah toko yang menempati sembilan pintu ini terletak di jalan Tengkuruk 18-26. Jika menggunakan nama toko serba ada alias supermarket, inilah toserba pertama di Palembang. Toko yang berarti Matahari itu berdagang rupa-rupa tekstil, barang kelontongan dan perabot rumah tangga lainnya.
Di dunia hiburan tidak kalah dengan ibukota Jakarta, Palembang juga diramaikan oleh pemutaran film di bioskop-bioskop seperti Capitol di jalan Tengkuruk, Initium di jalan Sekanak, International di jalan Sudirman atau di International Plaza sekarang, Lucky di Taman Pancawarna, Majestic di jalan Sudirman, Merdeka di 10 Ulu, Persatuan di Kertapati, Rex di 28 Ilir Sekanak, dan Saga di jalan Merdeka. Masing-masing bioskop tersebut menyebut dirinya bioskop, theatre, atau cinema. Karena hanya itulah dunia hiburan yang keren di masa tersebut, maka jangan heran jika setiap sore hingga malam hari, orang ramai mengantri di muka loket untuk menonton film. Di sisi lain kebutuhan akan hiburan ini mendorong munculnya aktifitas tukang catut atau ngulo karcis masuk bioskop, yang dilakukan orang tertentu yang mengambil selisih harga dari harga resmi tiket masuk.
Pengorbanan mengantri karcis atau terpaksa membeli tiket masuk bioskop dari tangan ulo menjadi terlupakan tatkala tontonan seperti film Samson and Delilah yang dibintangi oleh Victor Mature dan Heddy Lamar bisa dinikmati di gelapnya ruang bioskop. Film dengan latar western atau koboi pun banyak ditayangkan. Inilah di antara kesan tak terlupakan remaja di tahun 50-an.
Minggu, 25 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar